Jumat, 06 Desember 2013

TANJIDOR JAMAN PITUNG




 TANJIDOR KESENIAN BETAWI JAMAN PITUNG

Terlepas dari sejarah asal-usul yang panjang, kesenian Tanjidor tetap diakui sebagai representasi kesenian Jakarta yang unik dan antik. Dulu, kesenian ini merupakan iringan wajib dalam setiap kegiatan seremonial keagamaan serta musik penghibur di tiap perhelatan masyarakat Betawi.
Kini, Tanjidor secara perlahan mulai tergusur dari kancah hiburan rakyat di Jakarta. Keberadaan musik adaptasi dari genre jazz ini terjepit di antara organ tunggal, dangdut dan jaipong, serta band pop, yang lebih populer di kalangan masyarakat Ibu Kota.

Kontroversi Asal-Usul Tanjidor
    Tanjidor sebagai satu jenis kesenian musik asli Betawi, dimainkan secara berkelompok. Mengenai asal usul dan sejarah munculnya kesenian ini terdapat beberapa pendapat yang berbeda yang mana masing-masing mengklaim sebagai pencipta kesenian ini. Musik tanjidor diduga berasal dari bangsa Portugis yang datang ke Betawi pada abad ke 14 sampai 16. Salah satu jenis musik Betawi yang mendapat pengaruh kuat dari musik Eropa.  Menurut sejarawan, dalam bahasa Portugis terdapat kata Tanger yang berarti "memainkan alat musik".
Kata "Tanjidor" berasal dari kata dalam bahasa Portugis tangedor, yang berarti "alat-alat musik berdawai (stringed instruments)". Tetapi dalam kenyataannya, nama Tanjidor tidak sesuai lagi dengan istilah asli dari Portugis itu. Namun yang masih sama adalah sistem musik (tonesystem) dari tangedor, yakni sistem diatonik atau duabelas nada berjarak sama rata (twelve equally spaced tones). Ensambel Tanjidor terdiri dari alat-alat musik seperti berikut: klarinet (tiup), piston (tiup), trombon (tiup), saksofon tenor (tiup), saksofon bas (tiup), drum (membranofon), simbal (perkusi), dan side drums (tambur).
    Sampai sekarang di Portugal Tangedores mengiringi pawai-pawai keagamaan pada pesta penghormatan pelindung masyarakat, misal pesta Santo Gregorius, pelindung Kota Lissabon, tanggal 24 Juni. Alat-alat yang dipakai adalah tambur Turki, tambur sedang, seruling dan aneka macam terompet.  Biasanya pawai itu diikuti boneka-boneka besar yang selalu berjalan berpasangan. Satu berupa laki-laki, yang lain perempuan, dibawa oleh dua orang, yang satu duduk di atas bahu orang yang berjalan. Boneka-boneka itu mirip dengan Ondel-ondel Betawi yang mengiringi rombongan Tanjidor.

Berasal dari Budak
    Di lain pihak, sejarawan Belanda bernama Dr. F. De Haan berpendapat orkes tanjidor berasal dari orkes budak pada zaman Kompeni. Pada abad ke 18 kota Batavia dikelilingi benteng tinggi. Tidak banyak tanah lapang. Para pejabat tinggi Kompeni membangun villa di luar kota Batavia. Villa-villa itu terletak di Cililitan Besar, Pondok Gede, Tanjung Timur, Ciseeng, dan Cimanggis. Di villa-villa inilah terdapat budak-budak yang memiliki keahlian memainkan alat musik. Alat musik yang mereka mainkan antara lain: klarinet, piston, trombon, tenor, bas trompet, bass drum, tambur, simbal, dan lain-lain. Para budak pemain musik bertugas menghibur tuannya saat pesta dan jamuan makan.
    Repertoar Tanjidor merupakan hasil perkawinan antara lagu Betawi asli (kromongan), laras Mandalungan, lagu zaman Belanda yang merupakan lagu mars (mares Merin, dari kata Marine, mares Duelmus, dari kata Wilhelmus) dan walsa (lagu musik dansa) serta lagu Melayu modern yang dikenal sebagai irama dangdut.
    Hingga akhirnya perbudakan dihapuskan pada tahun 1860. Pemain musik yang semula budak menjadi orang yang merdeka. Karena keahlian bekas budak itu bermain musik, mereka membentuk perkumpulan musik yang akhirnya dinamakan Tanjidor.
Perlu Dilestarikan
    Kelompok musik Tanjidor biasanya dimainkan oleh 7 sampai 10 orang. Mereka mempergunakan peralatan musik tersebut, untuk memainkan reportoir laras diatonik maupun lagu-lagu yang berlaras pelog bahkan slendro. Tentu saja terdengar suatu suguhan yang terpaksa, karena dua macam tangga nada yang berlawanan dipaksakan pada peralatan yang khas berisi kemampuan teknis nada-nada diatonik. Karena gemuruhnya bahan perkusi, dan keadaan alat-alat itu sendiri sudah tidak sempurna lagi memainkan laras diatonik yang murni, maka adaptasi pendengaran lama kelamaan menerimanya pula.
    Para pemain Tanjidor kebanyakan berasal dari desa-desa di luar Kota Jakarta, seperti di daerah Tangerang, Indramayu dan lainnya. Dalam membawakannya, mereka tidak dapat membaca not balok maupun not angka, dan lagu-lagunya tidak pula mereka ketahui dari mana asal-usulnya. Namun semua diterimanya secara aural dari orang-orang terdahulu. Ada kemungkinan bahwa orang-orang itu merupakan bekas serdadu Hindia Belanda, dan bagian anggota kelompok musik. Sekarang ini sangat jarang yang memproduksi peralatan musik Tanjidor. Dengan demikian peralatan musik Tanjidor yang ditemui kemudian tidak ada yang dalam kondisi baru, kebanyakan semuanya sudah bertambalan pateri dan kuning, karena proses oksidasi.
    Tanjidor hingga tahun pertengahan tahun 1950 - an masih menghibur warga pada saat merayakan tahun baru, termasuk ngamen di kawasan Kota pada saat Imlek hingga Cap Go Meh. Setelah itu, orkes musik yang terdiri atas alat musik barat seperti klarinet, trombone, trompet, tuba tenor, drum samping, simbal, dilarang ngamen di Jakarta. Orkes ini juga terpengaruh musik China dilihat dari penggunaan suling, gong, kendang, rebab. Musik mereka biasanya adalah musik riang, mars seperti lagu-lagu dari zaman Belanda yang biasa dibawakan para serdadu.
    Namun yang pasti, orkes ini mudah dinikmati di tempat yang dihadiri banyak masyarakat Betawi dan juga dapat dipakai untuk memuliakan Tuhan. Tidak hanya itu, kesenian Betawi ini pun rupanya menarik minat seorang hamba Tuhan bernama Junaedi Salat yang juga merupakan putera Betawi dalam upaya untuk melestarikan budaya leluhurnya dan kecintaannya terhadap kesenian ini mencoba membentuk paduan suara Rohani Betawi dengan latar belakang musik budaya lokal Betawi. Tepatlah sebuah peribahasa yang mengatakan bahwa ‘dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung.’ (Flo/PRAISE #19). Sumber : www.majalahpraise.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar